-->

Pulau Buru 'Tempat Pembuangan' yang Indah

on 01 November 2008

Pulau Buru selalu diasosiasikan dengan kekerasan politik. Di situlah pada 1969, 12 ribu orang tahanan politik (tapol) disekap. Tak banyak yang tahu, pulau itu sebenarnya cantik dan menyimpan pesona wisata sangat indah. Ke sanalah, saya pada 17 Agustus 2007 silam menyaksikan pesonanya, bersama beberapa teman. Kami mencarter persawat Nomad dari Ambon. Pesawat kecil berpenumpang 10 orang itu hanya butuh waktu terbang 25 menit untuk mencapai lapangan terbang Namlea. Pada hari biasa, pesawat terbang perintis melayani rute Namlea-Ambon seminggu sekali dengan Pesawat Merpati. Perjalanan laut tetap menjadi andalan. Ada kapal cepat yang melayari Ambon-Namlea-Ambon. Dibutuhkan waktu tiga jam untuk mencapai tujuan. Ada juga kapal layar kayu yang biasanya butuh waktu delapan jam untuk mencapai tujuan. Dalam kondisi cuaca yang kurang baik seperti sekarang, memakai kapal layar cukup mengundang risiko. Kami mendarat di lapangan terbang Namlea yang mungil. Tidak ada satu pesawat pun yang terlihat parkir. Saya, Janet Steele (dosen George Washington University), pengusaha muda Surabaya, Iman Sulaiman, dan Djalil Latuconsina memasuki 'terminal' kedatangan. Hanya ada seorang penjaga berbakaian seragam Angkatan Udara RI. Dia memeriksa paspor Janet. Setelah Djalil memberi penjelasan, prajurit itu membiarkan kami pergi. Hari menjelang siang. Ketika itu tepat Jumat, 17 Agustus 2007. Kami meluncur menuju pusat kota. Kira-kira 20 menit perjalanan ke pusat kota kami tidak berpapasan dengan satu mobil pun. Satu dua pengendara sepeda motor kami lewati atau simpangi. Kami langsung menuju Hotel Grand Sarah. Hotel setingkat melati itu pun yang terbaik di Namlea. Cukup bersih dan nyaman. Kami mandi dengan bergegas dan harus segera ke pusat kota untuk melihat pawai 17 Agustus. Di jalan utama di depan kantor bupati, suasana sudah sangat ramai-ramai. Anak-anak, remaja, dan ibu-ibu sudah bersiap mengikuti pawai. Kami bertemu dengan Bupati Husnie Hentihu berbicara mengenai banyak hal. Janet yang mengaku 'tidak bisa hidup' tanpa internet, langsung mencari tahu mengenai kemungkinan ada sambungan internet di Pulau Buru. Janet terkejut ketika seorang wanita pegawai pemerintah kabupaten menjawab bahwa ada sambungan internet di Namlea. ''Ini luar biasa. Tempat seperti Namlea di Pulau Buru mempunyai sambungan internet,'' seru Janet, surprise. Benteng Belanda di Pantai Kayeli Perjalanan dari Pantai Namlea (ibukota kabupaten Buru) menyeberangi Teluk Kayeli dengan perahu motor sebenarnya hanya membutuhkan waktu 20 menit. Tetapi, saya merasa perjalanan itu sangat lama karena perasaan tegang. Seperti perahu kertas, perahu cepat itu bergoyang-goyang dan meloncat-loncat menghindari terpaan air. Setiap beberapa detik perahu itu terbanting ke air dengan keras seperti menerpa benda keras dan menimbulkan suara menggebrak. Saya duduk tepat di belakang nakhoda yang terus-menerus mengeluarkan kepala dari jendela kaca. Saya berpegangan erat ke punggung kursi di depan saya. Steele, berusaha terlihat tenang, meski wajahnya terlihat tegang. Iman Sulaiman, menghilangkan kekalutan dengan memotret. Djalil Latuconsina, putra daerah Pulau Buru yang sudah menetap di Surabaya, tertawa melihat ekspresi kami semua. “Kalian semua terlihat pucat,” teriakannya menembus keriuhan debur ombak. Ia tertawa terkekeh-kekeh. Puas! *** Perahu merapat ke pantai. Inilah Desa Kayeli. Di sinilah Belanda pada tahun 1718 mendarat dan mendirikan benteng. Sisa-sisa benteng masih terlihat, tetapi rapuh dan tidak terawat. Prasasti di pintu masuk masih terbaca cukup jelas. Kayeli adalah satu di antara delapan wilayah pertuanan yang dulu dipimpin oleh raja (semacam kepala suku). Ketika datang bangsa Eropa, Pulau Buru kemudian dikuasai dan raja-raja harus patuh kepada Belanda. Raja besar terakhir Pulau Buru adalah Ishak Wael, meninggal 1970. Ia diangkat dan menerima besleit dari Belanda. Setelah Ishak Wael meninggal, tidak ada lagi raja di Pulau Buru. Pada 1995, anak Ishak Wael bernama Mansur Wael diangkat oleh suku-suku adat untuk menjadi raja. Tetapi, kekuasaan Mansur tidak sebesar bapaknya, dan ia hanya sekadar simbol saja. Luas wilayah Kayeli sekitar 12.000 meter persegi, kira-kira hampir sama dengan Pulau Bali. Cuaca di wilayah itu rata-rata 30 sampai 33 derajat Celcius. Angin selalu bertiup sejuk dan kelembapan rendah sehingga udara terasa nyaman. n Saksi Sejarah yang Musnah Tempat bekas tahanan politik di Pulau Buru terletak di Kecamatan Waeapo, kira-kira 30 kilometer dari ibukota Namlea. Dulu, wilayah itu hanya bisa dijangkau melalui sungai, tetapi sekarang ada jalan hot mix yang mulus dan berkelok-kelok indah. Di sepanjang jalan, di kiri dan kanan, bertumbuhan pohon minyak kayu putih yang lebih mirip bakau. Tanaman ini tumbuh liar, tetapi menjadi komoditi sangat menguntungkan. Tanpa ditanam, kayu putih tumbuh sendiri. Bahkan setelah dibakar pun tanaman ini tumbuh lebih lebat. Masyarakat tinggal memetik daunnya dan menyulingnya menjadi minyak. Kualitasnya terbaik di dunia. Masuk ke Waeapo kita disambut Desa Savanah Jaya. Ini merupakan satu di antara 20 unit penampungan tapol. Seluruh unit Inrehab (sebutan untuk kamp penyekapan) dibangun pada 1969. Tapi Savanah baru dibangun tahun 1974 ketika pemerintah mengirim istri para tawanan ke pulau itu. Para tawanan yang beristri itu kemudian dibangunkan pemukiman tersendiri di Savanah. Bentuknya bukan barak tapi rumah-rumah petak. Sampai sekarang rumah petak itu masih banyak yang tersisa di sana. Beberapa masih ditempati. Beberapa sudah rusak. Gedung kesenian di desa Savanah Jaya merupakan gedung peninggalan sejak masa penyekapan. Itu satu-satunya bangunan yang tersisa. Kami menyusuri jalanan yang mulus berkilometer. Di sepanjang jalan sawah menghampar. Itulah sawah yang dibikin melalui kerja paksa oleh 12 ribu tawanan politik. Sekarang, sawah-sawah itu diwariskan kepada para transmigran dari Jawa. Kami mencari-cari barak-barak yang dulu ditempati sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Sayang, tidak ada satu pun yang tersisa. Jejaknya pun tak terasa. Semuanya sudah dirobohkan dan diganti dengan perumahan penduduk. sumber : http://www.surya.co.id/web/Esai-Minggu/Pulau-Buru-Tempat-Pembuangan-yang-Indah.html

0 komentar: