-->

Menyambangi Ina Kabuki di Teluk Kayeli

on 01 November 2008

Kapal cepat ML Express Bahari melaju kencang meninggalkan kota Ambon, memecah dan membelah ombak yang semakin membesar menuju kota Namlea, Kabupaten Buru Maluku. Laut yang jernih, angin dan ombak yang bersahabat menambah nikmatnya perjalanan. Kapal pun menyisiri sejumlah pulau-pulau kecil yang ada di sepanjang perjalanan. Hanya dalam waktu sekitar empat jam, kami sudah memasuki perairan Teluk Kayeli, pelabuhan Kota Namlea. Teluk Kayeli yang tenang tampak membisu. Tidak jauh dari pelabuhan itu terlihat lahan-lahan tandus berbukit, juga savana yang dipenuhi ilalang dan pohon-pohon kayu putih yang dipangkas kerdil. Sungguh eksotis. Ini mengingatkan pada pulau kelahiran saya, Flores. Namlea pulau kecil ini terkesan gersang, kering, dan miskin. Layaknya pulau-pulau kecil di kawasan Indonesia Timur yang jarang disinggahi kapal-kapal penumpang, suasana pelabuhan pun cukup ramai hanya di saat kapal akan berlabuh dan buang sauh. Menjelang senja, menyaksikan matahari terbenam dari perbukitan adalah keindahan tersendiri. Keindahan ini makin nikmat diiringi kicauan burung, kokok ayam kampung dan kerit jangkrik yang bersahutan merdu. Selain indah dan tenang, Teluk Kayeli juga menguarkan aroma tersendiri, yakni minyak kayu putih. Nuansa ini seperti menyeret kita ke dalam ruang alam tersendiri. Ketenangan dan kebisuan Teluk Kayeli yang luas dan indah ini, seakan-akan seperti pelabuhan armada yang sudah berabad-abad ditinggalkan. Demikian Pramoedya Ananta Toer melukiskannya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Selain itu, Teluk Kayeli juga menyisakan mitos. Rakyat Buru meyakini adanya Ina Kabuki, ratu yang bertahta di dasar Teluk Kayeli. Selain itu, mereka juga mengenal tokoh Boki Ronja(ng) dan sejumlah adat pamali (semacam larangan sesuai tradisi lokal). Hampir setiap hari, kapal cepat yang kami tumpangi itu singgah dan pergi dari teluk tersebut sehingga memudahkan warga Buru bepergian. Walaupun dengan tiket yang agak mahal sekitar Rp 150.000, tetapi sudah menghemat waktu sekitar enam jam dari Ambon. Puluhan tahun yang lalu perjalanan laut dari Ambon ke Namlea memakan waktu kurang lebih 10 jam dengan menggunakan kapal motor milik para nelayan atau kapal ferry. Dengan menumpang sebuah minibus, kami menuju Hotel Grand Sara, Namlea, sebuah hotel yang baru beberapa tahun dibangun, menyusul pemekaran Buru dari kecamatan menjadi kabupaten. Karenanya bisa dimaklumi bila fasilitas hotel maupun sejumlah penginapan lainnya masih seadanya. Di Kota Namlea, hampir tak ada kendaraan umum. Tetapi jangan khawatir karena ojek banyak berseliweran sebagai alat transportasi warga. Namun itu tidak berarti sulit mendapatkan kendaraan untuk mengunjungi kawasan-kawasan wisata di sekitar kota Namlea. Kayu Putih Apa yang bisa diburu di Pulau Buru? Pulau yang dulu identik sebagai tempat pembuangan tahanan politik pemerintahan Orde Baru itu, menyisakan banyak hal yang bisa dieksplorasi. Kekhasan Pulau Buru adalah produksi minyak kayu putih tradisionalnya. Tentang minyak kayu putih ini, bisa menjadi sebuah tujuan wisata pedesaan yang sangat menarik. Tradisi yang sudah turun temurun selama ratusan tahun tersebut, ternyata tidak hanya menggambarkan sebuah teknologi statis sederhana untuk mendapatkan minyak kayu putih tetapi juga menggambarkan hubungan dalam "sebuah keluarga". Menurut Yusuf Kau (50) seorang penyuling, dua tungku bersama ketel dan tempat pengeluaran minyak hasil suling, mempunyai arti sendiri yang belakangan dilupakan sebagian besar produsen minyak kayu putih. "Membuat minyak kayu putih ini tidak hanya menyuling tetapi mempunyai arti kehidupan. Kalau dalam rumah tangga ada bapak, ibu dan anak, demikian juga dengan sepasang tunggu dan tangki penyulingan tersebut. Ketika kami masih kecil proses penyulingan ini tidak bisa dilihat bebas," tutur Yusuf Kau, yang tinggal tepat di bibir pantai Teluk Kayeli. Hal itu karena, lanjutnya, proses penyulingan itu, bisa diibaratkan sebagai proses hubungan suami-istri. Hingga kini, Yusuf dan beberapa temannya, secara bergiliran menggunakan sebuah tungku dan ketel penyulingan di pinggiran Namlea dengan tetap mempertahankan tradisi tersebut. Tradisi ini dipegang kuat sebagian produsen minyak kayu putih tradisional. Hanya saja belakangan, minyak kayu putih diproduksi secara massal dengan menjalankan teknologi industri terkini. Ini pula yang menyebabkan beberapa produk minyak kayu putih mempunyai kualitas yang berbeda. Kendati demikian, orang Buru memiliki cara sendiri menakar kadar kemurnian minyak kayu putih. Ada yang mengocok botolnya dan melihat reaksi busanya. Ada yang membuka dan memasang matanya tepat di mulut botol untuk mengetahui tingkat kepedasannya. Ini bisa juga dilakukan dengan melihat tingkat kepedasan dari jenis ketel penyulingan yang digunakan untuk menghasilkan minyak. Kota Namlea terletak di pesisir Teluk Kayeli dilihat dari perbukitan. Kota yang menyimpan sejarah yang panjang tersebut perlahan-lahan mulai berkembang dan ramai, namun masih sangat sepi di malam hari. Jikumarasa Sebelah barat sekitar 20 menit perjalanan bus dari kota Namlea, terdapat sebuah pantai pasir putih yang dipenuhi pecahan-pecahan karang berukuran kecil. Dikenal sebagai Pantai Jikumarasa, pantai itu terletak di kawasan Kecamatan Namlea. Nyiur yang melambai dan desahan ombak kecil di bibir pantai, semakin menambah indahnya Jikumarasa. Aktivitas mencari siput, berjemur atau berenang di pantai ini, menjadi kegiatan yang menyenangkan. Pantai sepanjang kira-kira 3 kilometer tersebut tentu akan semakin menyenangkan apabila diperlengkapi rumah-rumah peristirahatan, sekadar tempat berlindung dari panasnya matahari. Tidak jauh dari Jikumarasa, masih dalam wilayah Kecamatan Namlea, terdapat sebuah telaga danau tawar Namniwel yang dikelilingi pohon-pohon kelapa dan kayu putih. Namniwel dalam bahasa setempat berarti dikelilingi pohon-pohon kelapa. Rupanya, etimologi dan hakikat, berkait erat. Telaga yang masih alami tersebut juga menjadi tujuan wisata keluarga warga kota Namlea dan daerah sekitarnya. Luas telaga yang tenang ini mencapai 3.000 hektare (ha). Bagi masyarakat sekitar, danau ini juga dijadikan tempat memancing ikan mujair, nila dan mas. Rumah-rumah kecil dan jembatan kayu semakin menambah keasrian telaga Namniwel yang dikelilingi bukit-bukit berwarna hijau kekuningan penuh pepohonan dan ilalang. Konon kabarnya, selama bertahun-tahun telaga ini tidak diketahui keberadaannya oleh masyarakat karena dikelilingi ilalang yang sangat lebat dan kepungan pepohonan. Masih banyak kawasan di Pulau Buru yang bisa dikunjungi sekaligus menjadi simbol napak tilas perjalanan penderitaan, keterasingan dan kekerasan yang menimpa lebih dari 10.000 tahanan politik yang pernah dibuang di pulau ini. Perjalanan darat Namlea adalah sebuah petualangan yang penuh tantangan nan indah dengan pemandangan savana eucaliptus yang membentang luas sejauh mata memandang. Seperti apa sebetulnya tempat pembuangan para tahanan politik itu di Pulau Buru? Tidak ada tempat bertembok bagi para tahanan dimaksud, yang ada adalah wilayah bernama Desa Savana Jaya. Wilayah ini lumayan luas dan para tahanan politik seperti Pramoedya Ananta Toer, Hasyam Rachman, Tom Anwar, 'ditahan' di area tersebut, untuk setiap hari mengerjakan pekerjaan seperti bertani dan meladang. Di tempat inilah, lahir karya novel Pramoedya diantaranya Bumi Manusia, Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979) dan beberapa buku yang mengulas tentang penderitaan para yugun ianfu asal Pulau Jawa. Kini perlahan, Pulau Buru mulai bangkit, menepis stigma yang keliru kendati tetap menyimpan sejarah panjang. Rasanya, ingin tetap tinggal di Pulau Buru, menyambangi Ina Kabuki dan teluknya yang indah serta mengeksplorasi misteri lainnya yang masih tersimpan. Sumber : http://kulinerkita.multiply.com/photos/album/181/Ina_Kabuki

0 komentar: