-->

Menjelajahi Negeri Eks Tapol

on 01 November 2008

Tak banyak yang tahu tentang keberadaan pulau dengan luas wilayah 12.655 km2 ini. Pulau yang terletak di Barat Ambon ini lebih terkenal dengan eks tapolnya ketimbang potensi kekayaan hasil bumi yang jadi primadona. Buru, demikian nama pulau yang lebih dikenal sebagai sebuah noktah di atas peta kawasan Maluku. Walaupun noktah ini terlahir lebih besar ketimbang Pulau Ambon, "ibu kota Tanah Maluku" keberadaannya tak banyak digubris orang. P. Buru, sebelum Perang Dunia II, merupakan pulau penghasil minyak kayu putih, selain penghasil sagu, yang terkenal di pasar-pasar P. Jawa dengan sebutan "Sagu Ambon". Sagu dari tempat para tapol berada, dikatakan orang sebagai sagu yang terbaik. Tapi karena tandusnya tanah serta teriknya sengatan matahari, membuat pencetakan lahan pertanian menjadi sulit. Belum lagi, jarangnya penduduk, keterbelakangan budaya, jauhnya jarak dari pulau-pulau terdekat, menjadikan P. Buru semakin terisolir. Karena itulah, pemerintah Orba menjadikannya sebagai "penjara" bagi orang-orang tahanan. Buru menjadi sama seperti "Sélong" di jaman VOC (dari kata Ceylon, Srilangka sekarang), atau "nDigul" di jaman Hindia Belanda. Tiga kata itu mempunyai arti setali tiga uang: “buangan”. Tiga tahun sejak Orba berkuasa, Buru dikatakan sebagai "Pulau Tutupan" (tutupan=tahanan), karena identik sebagai pulau tahanan. Di sana, sepanjang tahun 1969 - 1976 telah dibuang sebanyak 11.948 orang tahanan politik terlibat G30S-PKI. Berhubung tempatnya para tahanan, pulau itu dibayangkan dikelilingi kawat berduri. Ben Anderson, seorang Indonesianis asal AS, pernah menggambarkan Pulau Buru sebagai Gulag Tropis. Memang, pulau yang luasnya 12.655 kilometer persegi—lebih luas dari Pulau Bali—itu menyimpan sejarah kelam di zaman Orde Baru. Tetapi, hari ini, Pulau Buru tak seperti 30-an tahun silam. Cara Mencapainya Sore itu, laut di teluk Ambon terlihat tenang. Ditingkahi semilir angin, cuaca pun tampak bersahabat. Dalam kondisi demikian, rencana menjelajahi Pulau Buru yang terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya semakin kuat. Maklum sudah beberapa hari ini kami berkutat dengan berbagai urusan di pulau yang mulai berbenah pasca kerususuhan rasial beberapa tahun silam. Akhirnya, dengan persiapan yang matang, kami pun meninggalkan pelabuhan Gelala di Ambon menuju P. Buru dengan menumpang kapal ferry setelah membayar Rp. 65 ribu/orang. Perjalanan menuju lautan lepas pun dimulai. Mencoba alat transportasi kapal ferry bukanlah pilihan yang tepat. Pasalnya, kapal ini diperuntukkan untuk mengangkut mobil, motor, bis dan truk yang hendak menyeberang serta membawa barang-barang dagangan penduduk. Itu sebabnya, penumpang dengan barang bawaan yang banyak lebih memilih transportasi ini. Hal ini juga yang membuat kapasitas tempat tidur di kapal sangat terbatas. Sehingga jangan heran, demi mendapatkan sebuah tempat tidur, para penumpang rela antri dan tiba lebih pagi di pelabuhan sambil merogoh kocek tambahan sebesar Rp. 10.000/tempat tidur. Bagi mereka yang ingin cepat-cepat sampai di Pulau Buru bisa menggunakan alternatif lain, yakni dengan kapal cepat ataupun pesawat terbang. Untuk kapal cepat, waktu tempuh lebih ringkas. Hanya 3-4 jam perjalanan, kita bisa sampai dengan membayar Rp. 160.000/orang. Kapal cepat ini beroperasi 2 kali sehari, yaitu pagi dan siang hari. Sedangkan dengan pesawat terbang, waktu tempuh hanya 45 menit dengan membayar Rp. 150.000 saja. Namun perlu diingat, jadwal pesawat ke pulau ini hanya 1 kali dalam seminggu, yakni tiap hari Jumat. Dalam perjalanan panjang seperti ini, tempat tidur ataupun lokasi yang sedikit lapang untuk merebahkan diri menjadi penting. Sebab, dua belas hingga lima belas jam ke depan kita akan bergelut dengan ombak laut yang terus bergelora. Bagi penumpang yang tak terbiasa, mabuk laut pasti kerap mendera. Hanya tidur yang membuat suasana menjadi lebih baik, walau gelombang sedang tinggi-tingginya. Berhubung kami datang terlambat, keberadaan tempat tidur telah terisi penuh oleh penumpang yang lebih dahulu tiba. Jadilah kami hanya menempati beberapa buah bangku kosong. Itupun setelah bergerilya ke seantero penjuru kapal. Tepat pukul 17.05 WIT, terompet tanda keberangkatan segera dibunyikan. Para pedagang yang sedari tadi berlalu lalang di lambung kapal mulai meninggalkan jejak. Dari anjungan secara perlahan teluk ambon beserta beberapa kapal nelayan mulai terlihat menjauh seiring laju kapal menuju perairan laut Banda yang terkenal ganas. Saat seperti ini tak banyak yang bisa kami perbuat, selain ngobrol ngalar ngidul dengan sesama penumpang, sembari mencari tempat kosong yang mungkin bisa kami gunakan untuk berbaring saat malam menjelang. Mencoba duduk selama puluhan jam pastilah sangat menyiksa. Selain badan yang mulai lemah, rasa mual akibat ombak laut, membuat kami harus menemukan tempat yang aman untuk berselonjor. Tapi, sampai lewat tengah malam, lokasi aman belum juga ditemukan. Untungnya, saat arlojiku merujuk angka 01.15 WIT, beberapa buah bangku mulai ditinggalkan penunggunya. Mungkin mereka telah mendapatkan tempat yang lebih baik untuk berbaring. Melihat saya yang mulai pusing akibat ombak laut, bapak tua yang ada di depanku segera menawarkan tempat itu. Tanpa pikir panjang segera kuhampiri bangku tersebut. Sejurus kemudian kurebahkan diri sembari membetulkan posisi tidur. Sementara temanku, segera menghambur menuju pojokan lorong yang sudah ditinggalkan penghuninya. “Semoga saja, kapal ini masih ada ketika fajar menjelang”, gumanku lirih seraya menutup mata. Keesokan harinya, sejak pukul 05.00 WIT, kesibukan mulai terasa dikapal ini. Para penumpang yang tadinya tidur, kini mulai berbenah. Toilet yang cuma ada dua pun mulai dijejali penumpang untuk aneka kegiatan, seperti mandi, mencuci dan keperluan sholat. Sejak itulah keruwetan mulai menjelma, makin lama makin riuh, seiring pelabuhan Namlea, ibukota Kabupaten Buru mulai tampak diujung sana. Tepat pukul 09.10 WIT, kapal Ferry yang kami tumpangi merapat di pelabuhan setelah bertarung puluhan jam dengan ganasnya laut. Dari sini, tujuan selanjutnya adalah tempat penginapan, yang terletak di Pasar Namlea. Dengan menumpang ojek dan membayar Rp. 5.000 kita akan diantar menuju hotel yang sesuai dengan keinginan kita. Namun, pengunjung tak perlu khawatir, sebab sewa kamar di pulau ini cukup terjangkau, bervariasi dari kisaran Rp.50.000 – Rp.250.000/ kamar Potret Kelam Pulau Buru Pulau Buru di masa Orde Baru terkenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik yang terlibat PKI. Pramoedya Ananta Toer salah satunya. Sastrawan terkenal yang pernah mendekam di pulau ini pun sempat menghasilkan empat buah novel yang dikenal sebagai karya masterpiecenya. Selain itu, luka mendalam masih meliputi pulau ini, akibat konflik horizontal bernuansa SARA beberapa tahun lalu yang menjalar dari pulau tetangga, Ambon. Kedua masa itu meninggalkan luka tak tersembuhkan. Bedanya, jika yang pertama pelaku dan korbannya jelas, sementara yang kedua, tidak jelas siapa pelakunya, sedangkan korbannya jelas, yakni masyarakat sekitar. Kejadian ini terus menjadi kenangan pahit dan trauma mendalam bagi yang mengalaminya. Banyaknya bangunan yang hancur atau terbakar adalah bukti atas luapan emosi para perusuh. Meski yang menerima akibatnya bukan hanya fisik bangunan, tapi wilayah secara keseluruhan, bisa dipastikan sektor infrastruktur di kabupaten ini mati. Pembangunan tak berjalan. Walaupun bukan sektor andalan, daerah yang populer sebagai penghasil minyak kayu putih ini merasakan kehilangan dari lapangan usaha konstruksi. Pada awal berdiri sebagai daerah otonom tahun 1999, perputaran uang dari lapangan usaha ini sekitar 14 persen. Pada tahun berikutnya, saat kerusuhan terjadi, nilainya anjlok sampai 2,3 persen. Berikutnya, nilainya terus menyusut hingga terakhir tahun 2002 yang diraih sektor ini hanya dua persen. Sepertinya tak ada yang berniat membangun atau sekadar merenovasi rumah atau bangunan yang rusak. Mengungsi menjadi prioritas utama. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang ditinggal pemiliknya menjadi sektor lain yang terpinggirkan. Padahal, kedua sektor itu andalan kabupaten ini. Apalagi, hampir 60 persen penduduk pulau ini bermata pencarian petani, sedang sisanya melaut. Lumbung pangan Cuaca begitu terik sewaktu kami menjejakkan diri di pulau yang terlihat gersang ini. Tapi, ketika kita melongok ke salah satu unit, tempatnya kaum transmigran berada, bentangan sawah yang terhampar hijau segera menyapa. Batang-batang padi dan pondok peristirahatan para petani menjadi pertanda kehidupan pulau ini. Sawah-sawah itu ibarat oase di tengah padang yang dipenuhi pohon kayu putih. Buru juga dikenal sebagai sentra produksi beras di Provinsi Maluku. Meski areal yang terpakai untuk sawah tak seluas perkebunan, sumbangsih yang dihasilkannya cukup besar, berada di peringkat kedua setelah perkebunan. Itu yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi daerah ini setahun silam untuk melakukan panen raya disana. Kalau mau melihat Buru yang berbeda, datanglah ke Kec. Waeapo. Saat memasukinya, pemandangan pertama yang menyergap mata adalah bentangan petak-petak sawah. Saluran irigasi dengan air yang melimpah membelah di tengah persawahan. Demikian pula rumah-rumah penduduk dan pertokoan yang tertata rapi di sepanjang jalan utama. Berkeliling di kawasan itu, barangkali serasa di Pulau Jawa. Bukan saja dari sisi kontur tanah dengan hamparan lahan pertanian, tetapi sebagian besar penduduknya adalah orang- orang Jawa, yakni transmigran yang datang sekitar tahun 1980 maupun eks tapol yang justru lebih dulu membuka daerah itu pada tahun 1970. Pusat keramaian Waeapo berada di Mako (berasal dari kata Markas Komando). Dari Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, jaraknya sekitar 38 kilometer yang ditempuh sekitar satu jam. Infrastruktur jalan darat Namlea-Mako boleh dibilang yang terbaik dibanding ruas jalan lain di pulau itu. Bahkan, di sejumlah kecamatan, sarana jalan masih berupa tanah dan penuh lubang. Beberapa sungai belum ada jembatan, sehingga kendaraan yang ingin ke seberang harus melewatinya, itu pun harus menunggu air surut. Di daerah Mako, sejumlah petani tampak asyik membajak sawah menggunakan kerbau atau traktor. Saat itu, petani sedang memasuki masa tanam pertama untuk periode tanam 2007-2008 pasca panen raya. Mako tumbuh menjadi sentra pertanian bagi Provinsi Maluku. Pulau Buru yang dulu dikenal menjadi pulau buangan, kini menjadi lumbung padi bagi propinsi itu. Sawah-sawah begitu subur terlebih didukung sistem pengairan yang baik. Sebuah waduk kini tengah dibangun di sana. Dalam satu kali musim panen, sawah-sawah di Waeapo mampu menghasilkan 29.000 ton gabah kering, setara dengan sekitar 16.000 ton beras. Menurut para petani, dalam setahun ada tiga kali panen. Rata-rata setiap hektar menghasilkan beras sekitar 3-4 ton. Ternyata produk pertanian Buru yang diperdagangkan tidak mengalami pengolahan. Seusai panen, pedagang pengumpul datang membeli, selanjutnya dijual kembali ke pedagang besar. Setelah itu, distribusi produk pertanian dan perkebunan disalurkan secara massal, melalui Namlea, pelabuhan utama barang dan penumpang. Peran Eks Tapol Bentangan sawah luas yang tercipta ternyata tidak terjadi dengan sendirinya. Ada tangan-tangan perkasa yang mengubahkan semua itu. Ya, itulah tangan-tangan para tapol yang dipaksa bekerja keras siang dan malam. Menurut Gatot (55), mantan tapol asal Kediri yang menetap di Unit VI; para eks tapol-lah yang pertama membuka kawasan sawah disana. Menurut Gatot, saat ditempatkan di Pulau Buru tahun 1971, kondisi Mako masih berupa hutan belantara dan rawa. Pohon sagu, kayu putih, dan rumput menjadi tanaman yang paling banyak tumbuh. Ada pula pohon-pohon besar yang berdiameter 4-6 m. Dengan menggunakan peralatan seadanya, para tapol itu mulai membuka lahan. Pohon-pohon besar ditebangi. Sisa-sisa akar pohon yang ukurannya sangat besar juga dibersihkan. Dari jerih payah ini kemudian dilanjutkan oleh para transmigran. Kini areal persawahan di Unit VI mencapai 1.255 ha dari 10.822 ha potensi keseluruhan lahan sawah di Pulau Buru Dari luasan tersebut, 6.000 hektar sawah sudah digarap oleh warga transmigran maupun penduduk asli. Setelah para tapol dibebaskan dan sebagian besar pulang ke Jawa tahun 1980, lahan yang mereka buka dijadikan areal program transmigrasi. Para transmigran pun didatangkan, baik yang berasal dari Jawa maupun transmigran lokal yang merupakan warga asli P. Buru. Ada sekitar 300-an tapol yang tak mau pulang ke Jawa. Mereka malah mendaftar menjadi transmigran. Pasalnya, merasa betah tinggal di Pulau Buru atau merasa tak punya harapan lagi di Jawa; karena keluarga sudah tercerai-berai, meninggal, atau istri-istri mereka telah menikah dengan orang lain. Sebagai transmigran, para eks tapol mendapatkan lahan seluas 2 hektar: 1 hektar lahan sawah, ¾ hektar lahan kering, dan ¼ hektar halaman yang kemudian dijadikan areal rumah. Upaya yang dirintis para tapol tersebut kini telah membuahkan hasil. Minyak Kayu Putih Pengunjung yang meninggalkan Buru biasanya tak pernah lupa membawa oleh-oleh berupa minyak kayu putih. Sebagai salah satu penghasil minyak kayu putih dengan kualitas terbaik di Maluku, pohon kayu putih bisa ditemui cukup banyak di hutan-hutan Pulau Buru, khususnya di Kecamatan Namlea, Waplau, dan Waeapo. Tidak pernah diketahui pasti sejak kapan tanaman kayu putih mulai disuling menjadi minyak di Pulau Buru, yang sampai saat ini terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Buru Utara Timur dan Buru Utara Barat. Menurut penduduk setempat, penyulingan sudah beroperasi sejak penjajahan Jepang. Hingga saat ini tanaman kayu putih tidak dibudidayakan secara khusus. Tumbuhan ini hidup alami di hutan atau lahan milik penduduk. Total lahan pohon kayu putih diperkirakan 120.000 hektar dengan kisaran kerapatan 100-160 pohon per hektar. Pada lokasi-lokasi yang daun kayu putihnya dipanen intensif, tinggi pohon sekitar 1-2 meter. Adapun pada lokasi yang kurang terjamah, pohon bisa mencapai ketinggian 10-20 meter. Pengolahan daun kayu putih menjadi minyak oleh penduduk menggunakan teknik penyulingan sederhana dan biasanya dilakukan langsung di lokasi tempat pohon berada. Saat kami berkunjung ke salah satu sentra produksi minyak kayu putih, tepatnya di Desa Ubung, kecamatan Namlea. Kami bertemu dengan Lamua (30), pria paruh baya yang sudah 15 tahun bergelut dengan kayu putih. Saat itu dia terlihat sibuk menyuling minyak kayu putih yang dialirkan dalam 2 buah wadah besar. Menurutnya, menyuling minyak kayu putih tidaklah sulit, hanya waktu yang relatif panjang menjadi kendalanya. Pasalnya untuk menghasilkan 2,5 liter minyak kayu putih murni, kita harus menunggu hingga 6 jam. Sehingga dalam sehari dia hanya bisa melakukan penyulingan sebanyak dua kali. Sebelumnya, untuk perlakuan awal, wadah yang biasa disebut ketel dibersihkan dari sisa penyulingan terdahulu. Kemudian api pembakaran disiapkan, diiringi dengan pemberian air pada wadah yang berfungsi sebagai pendingin. Lalu tunggu beberapa saat! Ketika tungku telah siap, daun pohon kayu putih yang telah dikumpulkan beberapa hari sebelumnya dimasukkan ke dalam ketel yang mampu menampung puluhan kilo daun. kemudian ketel tersebut di tutup rapat. Namun, di sebuah sisi ketel, akan disambungkan dengan selang yang berfungsi untuk mengalirkan hasil penyulingan tersebut. Dan Selanjutnya di bagian akhir pada wadah kedua, sebuah selang kembali dialirkan pada jerigen kecil untuk menampung hasil murni penyulingan minyak kayu putih. Di kabupaten buru, sepanjang jalan ke Namlea kita akan menemukan ribuan pohon kayu putih. Sayangnya, pohon kayu putih itu tidak terawat, sehingga jumlah minyak yang dihasilkan tidak menentu. Layaknya tanaman liar, tidak ada yang mencegah pohon kayu putih terjangkit hama atau memberantasnya. Jarang sekali dilakukan pemangkasan gulma yang mengganggu tanaman induk. Bahkan di saat-saat tertentu akibat cuaca panas, tak sedikit pohon kayu putih yang habis dilalap si jago merah. Pulau Buru memang sangat dikenal sebagai produsen minyak kayu putih terbaik. Selain karena luasan lahan tanaman kayu putih, topografi pegunungan dengan dominasi iklim kering menjadikan minyak kayu putih P. Buru diakui berkualitas baik. Oleh karena itu, kalau singgah ke Pulau Buru, jangan lupa membawa cendera mata minyak kayu putih yang katanya masih tetap nomor satu. “Ini ‘tanda mata’ yang sah saat menginjak Pulau Buru, mas!”, ujar seorang tukang ojek yang jadi pemandu kami. Ah..., puas rasanya bisa menjelajahi negeri para eks tapol yang ternyata memiliki potensi sebagai lumbung pangan bagi Propinsi Maluku. Keindahannya masih tetap sama, bahkan sejak 30 tahun silam. Tak salah jika seorang penyair menyebutkan pulau ini sebagai pulau buangan yang penuh harapan. sumber : http://kelana-tambora.blogspot.com/2007_09_01_archive.html

Baca selengkapnya!

Menyambangi Ina Kabuki di Teluk Kayeli

Kapal cepat ML Express Bahari melaju kencang meninggalkan kota Ambon, memecah dan membelah ombak yang semakin membesar menuju kota Namlea, Kabupaten Buru Maluku. Laut yang jernih, angin dan ombak yang bersahabat menambah nikmatnya perjalanan. Kapal pun menyisiri sejumlah pulau-pulau kecil yang ada di sepanjang perjalanan. Hanya dalam waktu sekitar empat jam, kami sudah memasuki perairan Teluk Kayeli, pelabuhan Kota Namlea. Teluk Kayeli yang tenang tampak membisu. Tidak jauh dari pelabuhan itu terlihat lahan-lahan tandus berbukit, juga savana yang dipenuhi ilalang dan pohon-pohon kayu putih yang dipangkas kerdil. Sungguh eksotis. Ini mengingatkan pada pulau kelahiran saya, Flores. Namlea pulau kecil ini terkesan gersang, kering, dan miskin. Layaknya pulau-pulau kecil di kawasan Indonesia Timur yang jarang disinggahi kapal-kapal penumpang, suasana pelabuhan pun cukup ramai hanya di saat kapal akan berlabuh dan buang sauh. Menjelang senja, menyaksikan matahari terbenam dari perbukitan adalah keindahan tersendiri. Keindahan ini makin nikmat diiringi kicauan burung, kokok ayam kampung dan kerit jangkrik yang bersahutan merdu. Selain indah dan tenang, Teluk Kayeli juga menguarkan aroma tersendiri, yakni minyak kayu putih. Nuansa ini seperti menyeret kita ke dalam ruang alam tersendiri. Ketenangan dan kebisuan Teluk Kayeli yang luas dan indah ini, seakan-akan seperti pelabuhan armada yang sudah berabad-abad ditinggalkan. Demikian Pramoedya Ananta Toer melukiskannya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Selain itu, Teluk Kayeli juga menyisakan mitos. Rakyat Buru meyakini adanya Ina Kabuki, ratu yang bertahta di dasar Teluk Kayeli. Selain itu, mereka juga mengenal tokoh Boki Ronja(ng) dan sejumlah adat pamali (semacam larangan sesuai tradisi lokal). Hampir setiap hari, kapal cepat yang kami tumpangi itu singgah dan pergi dari teluk tersebut sehingga memudahkan warga Buru bepergian. Walaupun dengan tiket yang agak mahal sekitar Rp 150.000, tetapi sudah menghemat waktu sekitar enam jam dari Ambon. Puluhan tahun yang lalu perjalanan laut dari Ambon ke Namlea memakan waktu kurang lebih 10 jam dengan menggunakan kapal motor milik para nelayan atau kapal ferry. Dengan menumpang sebuah minibus, kami menuju Hotel Grand Sara, Namlea, sebuah hotel yang baru beberapa tahun dibangun, menyusul pemekaran Buru dari kecamatan menjadi kabupaten. Karenanya bisa dimaklumi bila fasilitas hotel maupun sejumlah penginapan lainnya masih seadanya. Di Kota Namlea, hampir tak ada kendaraan umum. Tetapi jangan khawatir karena ojek banyak berseliweran sebagai alat transportasi warga. Namun itu tidak berarti sulit mendapatkan kendaraan untuk mengunjungi kawasan-kawasan wisata di sekitar kota Namlea. Kayu Putih Apa yang bisa diburu di Pulau Buru? Pulau yang dulu identik sebagai tempat pembuangan tahanan politik pemerintahan Orde Baru itu, menyisakan banyak hal yang bisa dieksplorasi. Kekhasan Pulau Buru adalah produksi minyak kayu putih tradisionalnya. Tentang minyak kayu putih ini, bisa menjadi sebuah tujuan wisata pedesaan yang sangat menarik. Tradisi yang sudah turun temurun selama ratusan tahun tersebut, ternyata tidak hanya menggambarkan sebuah teknologi statis sederhana untuk mendapatkan minyak kayu putih tetapi juga menggambarkan hubungan dalam "sebuah keluarga". Menurut Yusuf Kau (50) seorang penyuling, dua tungku bersama ketel dan tempat pengeluaran minyak hasil suling, mempunyai arti sendiri yang belakangan dilupakan sebagian besar produsen minyak kayu putih. "Membuat minyak kayu putih ini tidak hanya menyuling tetapi mempunyai arti kehidupan. Kalau dalam rumah tangga ada bapak, ibu dan anak, demikian juga dengan sepasang tunggu dan tangki penyulingan tersebut. Ketika kami masih kecil proses penyulingan ini tidak bisa dilihat bebas," tutur Yusuf Kau, yang tinggal tepat di bibir pantai Teluk Kayeli. Hal itu karena, lanjutnya, proses penyulingan itu, bisa diibaratkan sebagai proses hubungan suami-istri. Hingga kini, Yusuf dan beberapa temannya, secara bergiliran menggunakan sebuah tungku dan ketel penyulingan di pinggiran Namlea dengan tetap mempertahankan tradisi tersebut. Tradisi ini dipegang kuat sebagian produsen minyak kayu putih tradisional. Hanya saja belakangan, minyak kayu putih diproduksi secara massal dengan menjalankan teknologi industri terkini. Ini pula yang menyebabkan beberapa produk minyak kayu putih mempunyai kualitas yang berbeda. Kendati demikian, orang Buru memiliki cara sendiri menakar kadar kemurnian minyak kayu putih. Ada yang mengocok botolnya dan melihat reaksi busanya. Ada yang membuka dan memasang matanya tepat di mulut botol untuk mengetahui tingkat kepedasannya. Ini bisa juga dilakukan dengan melihat tingkat kepedasan dari jenis ketel penyulingan yang digunakan untuk menghasilkan minyak. Kota Namlea terletak di pesisir Teluk Kayeli dilihat dari perbukitan. Kota yang menyimpan sejarah yang panjang tersebut perlahan-lahan mulai berkembang dan ramai, namun masih sangat sepi di malam hari. Jikumarasa Sebelah barat sekitar 20 menit perjalanan bus dari kota Namlea, terdapat sebuah pantai pasir putih yang dipenuhi pecahan-pecahan karang berukuran kecil. Dikenal sebagai Pantai Jikumarasa, pantai itu terletak di kawasan Kecamatan Namlea. Nyiur yang melambai dan desahan ombak kecil di bibir pantai, semakin menambah indahnya Jikumarasa. Aktivitas mencari siput, berjemur atau berenang di pantai ini, menjadi kegiatan yang menyenangkan. Pantai sepanjang kira-kira 3 kilometer tersebut tentu akan semakin menyenangkan apabila diperlengkapi rumah-rumah peristirahatan, sekadar tempat berlindung dari panasnya matahari. Tidak jauh dari Jikumarasa, masih dalam wilayah Kecamatan Namlea, terdapat sebuah telaga danau tawar Namniwel yang dikelilingi pohon-pohon kelapa dan kayu putih. Namniwel dalam bahasa setempat berarti dikelilingi pohon-pohon kelapa. Rupanya, etimologi dan hakikat, berkait erat. Telaga yang masih alami tersebut juga menjadi tujuan wisata keluarga warga kota Namlea dan daerah sekitarnya. Luas telaga yang tenang ini mencapai 3.000 hektare (ha). Bagi masyarakat sekitar, danau ini juga dijadikan tempat memancing ikan mujair, nila dan mas. Rumah-rumah kecil dan jembatan kayu semakin menambah keasrian telaga Namniwel yang dikelilingi bukit-bukit berwarna hijau kekuningan penuh pepohonan dan ilalang. Konon kabarnya, selama bertahun-tahun telaga ini tidak diketahui keberadaannya oleh masyarakat karena dikelilingi ilalang yang sangat lebat dan kepungan pepohonan. Masih banyak kawasan di Pulau Buru yang bisa dikunjungi sekaligus menjadi simbol napak tilas perjalanan penderitaan, keterasingan dan kekerasan yang menimpa lebih dari 10.000 tahanan politik yang pernah dibuang di pulau ini. Perjalanan darat Namlea adalah sebuah petualangan yang penuh tantangan nan indah dengan pemandangan savana eucaliptus yang membentang luas sejauh mata memandang. Seperti apa sebetulnya tempat pembuangan para tahanan politik itu di Pulau Buru? Tidak ada tempat bertembok bagi para tahanan dimaksud, yang ada adalah wilayah bernama Desa Savana Jaya. Wilayah ini lumayan luas dan para tahanan politik seperti Pramoedya Ananta Toer, Hasyam Rachman, Tom Anwar, 'ditahan' di area tersebut, untuk setiap hari mengerjakan pekerjaan seperti bertani dan meladang. Di tempat inilah, lahir karya novel Pramoedya diantaranya Bumi Manusia, Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979) dan beberapa buku yang mengulas tentang penderitaan para yugun ianfu asal Pulau Jawa. Kini perlahan, Pulau Buru mulai bangkit, menepis stigma yang keliru kendati tetap menyimpan sejarah panjang. Rasanya, ingin tetap tinggal di Pulau Buru, menyambangi Ina Kabuki dan teluknya yang indah serta mengeksplorasi misteri lainnya yang masih tersimpan. Sumber : http://kulinerkita.multiply.com/photos/album/181/Ina_Kabuki

Baca selengkapnya!

Pulau Buru 'Tempat Pembuangan' yang Indah

Pulau Buru selalu diasosiasikan dengan kekerasan politik. Di situlah pada 1969, 12 ribu orang tahanan politik (tapol) disekap. Tak banyak yang tahu, pulau itu sebenarnya cantik dan menyimpan pesona wisata sangat indah. Ke sanalah, saya pada 17 Agustus 2007 silam menyaksikan pesonanya, bersama beberapa teman. Kami mencarter persawat Nomad dari Ambon. Pesawat kecil berpenumpang 10 orang itu hanya butuh waktu terbang 25 menit untuk mencapai lapangan terbang Namlea. Pada hari biasa, pesawat terbang perintis melayani rute Namlea-Ambon seminggu sekali dengan Pesawat Merpati. Perjalanan laut tetap menjadi andalan. Ada kapal cepat yang melayari Ambon-Namlea-Ambon. Dibutuhkan waktu tiga jam untuk mencapai tujuan. Ada juga kapal layar kayu yang biasanya butuh waktu delapan jam untuk mencapai tujuan. Dalam kondisi cuaca yang kurang baik seperti sekarang, memakai kapal layar cukup mengundang risiko. Kami mendarat di lapangan terbang Namlea yang mungil. Tidak ada satu pesawat pun yang terlihat parkir. Saya, Janet Steele (dosen George Washington University), pengusaha muda Surabaya, Iman Sulaiman, dan Djalil Latuconsina memasuki 'terminal' kedatangan. Hanya ada seorang penjaga berbakaian seragam Angkatan Udara RI. Dia memeriksa paspor Janet. Setelah Djalil memberi penjelasan, prajurit itu membiarkan kami pergi. Hari menjelang siang. Ketika itu tepat Jumat, 17 Agustus 2007. Kami meluncur menuju pusat kota. Kira-kira 20 menit perjalanan ke pusat kota kami tidak berpapasan dengan satu mobil pun. Satu dua pengendara sepeda motor kami lewati atau simpangi. Kami langsung menuju Hotel Grand Sarah. Hotel setingkat melati itu pun yang terbaik di Namlea. Cukup bersih dan nyaman. Kami mandi dengan bergegas dan harus segera ke pusat kota untuk melihat pawai 17 Agustus. Di jalan utama di depan kantor bupati, suasana sudah sangat ramai-ramai. Anak-anak, remaja, dan ibu-ibu sudah bersiap mengikuti pawai. Kami bertemu dengan Bupati Husnie Hentihu berbicara mengenai banyak hal. Janet yang mengaku 'tidak bisa hidup' tanpa internet, langsung mencari tahu mengenai kemungkinan ada sambungan internet di Pulau Buru. Janet terkejut ketika seorang wanita pegawai pemerintah kabupaten menjawab bahwa ada sambungan internet di Namlea. ''Ini luar biasa. Tempat seperti Namlea di Pulau Buru mempunyai sambungan internet,'' seru Janet, surprise. Benteng Belanda di Pantai Kayeli Perjalanan dari Pantai Namlea (ibukota kabupaten Buru) menyeberangi Teluk Kayeli dengan perahu motor sebenarnya hanya membutuhkan waktu 20 menit. Tetapi, saya merasa perjalanan itu sangat lama karena perasaan tegang. Seperti perahu kertas, perahu cepat itu bergoyang-goyang dan meloncat-loncat menghindari terpaan air. Setiap beberapa detik perahu itu terbanting ke air dengan keras seperti menerpa benda keras dan menimbulkan suara menggebrak. Saya duduk tepat di belakang nakhoda yang terus-menerus mengeluarkan kepala dari jendela kaca. Saya berpegangan erat ke punggung kursi di depan saya. Steele, berusaha terlihat tenang, meski wajahnya terlihat tegang. Iman Sulaiman, menghilangkan kekalutan dengan memotret. Djalil Latuconsina, putra daerah Pulau Buru yang sudah menetap di Surabaya, tertawa melihat ekspresi kami semua. “Kalian semua terlihat pucat,” teriakannya menembus keriuhan debur ombak. Ia tertawa terkekeh-kekeh. Puas! *** Perahu merapat ke pantai. Inilah Desa Kayeli. Di sinilah Belanda pada tahun 1718 mendarat dan mendirikan benteng. Sisa-sisa benteng masih terlihat, tetapi rapuh dan tidak terawat. Prasasti di pintu masuk masih terbaca cukup jelas. Kayeli adalah satu di antara delapan wilayah pertuanan yang dulu dipimpin oleh raja (semacam kepala suku). Ketika datang bangsa Eropa, Pulau Buru kemudian dikuasai dan raja-raja harus patuh kepada Belanda. Raja besar terakhir Pulau Buru adalah Ishak Wael, meninggal 1970. Ia diangkat dan menerima besleit dari Belanda. Setelah Ishak Wael meninggal, tidak ada lagi raja di Pulau Buru. Pada 1995, anak Ishak Wael bernama Mansur Wael diangkat oleh suku-suku adat untuk menjadi raja. Tetapi, kekuasaan Mansur tidak sebesar bapaknya, dan ia hanya sekadar simbol saja. Luas wilayah Kayeli sekitar 12.000 meter persegi, kira-kira hampir sama dengan Pulau Bali. Cuaca di wilayah itu rata-rata 30 sampai 33 derajat Celcius. Angin selalu bertiup sejuk dan kelembapan rendah sehingga udara terasa nyaman. n Saksi Sejarah yang Musnah Tempat bekas tahanan politik di Pulau Buru terletak di Kecamatan Waeapo, kira-kira 30 kilometer dari ibukota Namlea. Dulu, wilayah itu hanya bisa dijangkau melalui sungai, tetapi sekarang ada jalan hot mix yang mulus dan berkelok-kelok indah. Di sepanjang jalan, di kiri dan kanan, bertumbuhan pohon minyak kayu putih yang lebih mirip bakau. Tanaman ini tumbuh liar, tetapi menjadi komoditi sangat menguntungkan. Tanpa ditanam, kayu putih tumbuh sendiri. Bahkan setelah dibakar pun tanaman ini tumbuh lebih lebat. Masyarakat tinggal memetik daunnya dan menyulingnya menjadi minyak. Kualitasnya terbaik di dunia. Masuk ke Waeapo kita disambut Desa Savanah Jaya. Ini merupakan satu di antara 20 unit penampungan tapol. Seluruh unit Inrehab (sebutan untuk kamp penyekapan) dibangun pada 1969. Tapi Savanah baru dibangun tahun 1974 ketika pemerintah mengirim istri para tawanan ke pulau itu. Para tawanan yang beristri itu kemudian dibangunkan pemukiman tersendiri di Savanah. Bentuknya bukan barak tapi rumah-rumah petak. Sampai sekarang rumah petak itu masih banyak yang tersisa di sana. Beberapa masih ditempati. Beberapa sudah rusak. Gedung kesenian di desa Savanah Jaya merupakan gedung peninggalan sejak masa penyekapan. Itu satu-satunya bangunan yang tersisa. Kami menyusuri jalanan yang mulus berkilometer. Di sepanjang jalan sawah menghampar. Itulah sawah yang dibikin melalui kerja paksa oleh 12 ribu tawanan politik. Sekarang, sawah-sawah itu diwariskan kepada para transmigran dari Jawa. Kami mencari-cari barak-barak yang dulu ditempati sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Sayang, tidak ada satu pun yang tersisa. Jejaknya pun tak terasa. Semuanya sudah dirobohkan dan diganti dengan perumahan penduduk. sumber : http://www.surya.co.id/web/Esai-Minggu/Pulau-Buru-Tempat-Pembuangan-yang-Indah.html

Baca selengkapnya!

Wisata Maluku

on 30 Oktober 2008

TARI KATREJI

Tarian KatrejiTarian ini adalah suatu tarian pergaulan masyarakat Maluku yang biasanya digelarkan pada acara-acara negeri / desa berkaitan dengan upacara-upacara pelantikan Raja / Kepala Desa, atau pada acara-acara ramah tamah masyarakat negeri/desa dengan tamu kehormatan yang hadir di negeri/desa-nya.Dari pendekatan sejarah, tarian ini merupakan suatu AKULTURASI dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya Maluku.Hal ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses BILINGUALISME.Dalam perkembangannya tarian ini kemudian menjadi tarian rakyat yang hampir setiap saat digelarkan pada acara-acara pesta rakyat, baik yang dilaksanakan pada saat hajatan keluarga, maupun negeri/desa, yang menggambarkan suasana suka cita, kegembiraan seluruh masyarakat.Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar, dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari oleh masyarakat Maluku sampai sekarang....................

Baca selengkapnya!

WISATA ALAM KABUPATEN BURU - MALUKU

on 29 Oktober 2008

PANTAI JIKUMERASA Pantai Indah Jikumerasa Namlea WISATA BATU KAPAL Wisata Batu Kapal Kab. Buru POHON ENAU DESA KAYELI Wisata Pohon Enau Desa Kayeli AIR JIN DESA NANALI KAPALA MADAN Air Jin Desa Nanali Kapala Madan DANAU INDAH RANA Danau Rana Kab. Buru

Baca selengkapnya!